.

Senin, 21 Januari 2013

Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara


Harian Kal-Bar, Jakarta. Wacana memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke provinsi lain kembali mencuat, menyusul banjir yang merendam dan melumpuhkan Jakarta empat hari terakhir. Alasannya, Jakarta dinilai tak mampu lagi menanggung beban sebagai ibukota pemerintahan, politik, bisnis dan pariwisata sekaligus. 

Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara terbuka dan bersedia berdiskusi atas wacana perpindahan Ibu Kota negara.

Menurut Presiden, seperti disampaikan staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, Jakarta tidak bisa lagi menampung interaksi manusia dan lingkungannya.

Karena itu, Presiden SBY mengajukan tiga skenario yang perlu didiskusikan oleh publik. Skenario pertama adalah mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota, pusat pemerintahan, sekaligus kota ekonomi dan perdagangan. Kedua, membangun ibu kota yang benar-benar baru. 

Ketiga, ibu kota tetap di Jakarta, namun memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain.
Bisa jadi pemindahan ibu kota negara atau hanya memindahkan pusat pemerintahan adalah bagian dari solusi, namun membicarakannya untuk saat ini tidak tepat. 


Sebab, yang terpenting saat ini adalah semua pihak, baik pemerintah daerah dan pusat bersama masyarakat bahu-membahu mengatasi bencana banjir dan membantu para korban yang saat ini masih berada di tempat-tempat pengungsian.

Meski demikian, ke depan tidak ada salahnya tiga opsi yang ditawarkan Presiden SBY didiskusikan bersama. Tentu perlu sebuah diskusi yang panjang melibatkan seluruh elemen bangsa ini. 

Dari ketiga opsi tersebut, tampaknya ide memindahkan pusat pemerintahan yang paling memungkinkan. Jakarta bisa dijadikan sebagai kota pusat bisnis, sementara kota lain menjadi pusat pemerintahan. 

Sebenarnya, ibu kota negara dipindah itu sudah dilakukan sejumlah negara di dunia ini. Bahkan Australia, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Malaysia pun pernah melakukannya. Malaysia memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Kota Putrajaya. 

Australia memindahkan dari Sidney ke Canbera, Amerika Serikat memindahkan dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Jerman yang sebelumnya di Kota Bonn ke Berlin.

Putrajaya, kota seluas 46 kilometer persegi yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kuala Lumpur awalnya adalah areal perkebunan sawit disulap menjadi pusat pemerintahan Malaysia menggantikan Kuala Lumpur sebagai ibukota pemerintahan Malaysia, setelah kota yang disebut terakhir ini tidak mampu lagi menanggung beban sebagai ibukota yang ideal. 

Dibangun sejak 1994 dan menghabiskan biaya sekitar Rp85 triliun, Putrajaya resmi dijadikan sebagai pusat pemerintahan Malaysia pada 1999. Semua aktivitas kantor pemerintahan, termasuk Kantor Perdana Menteri, kini telah dipindahkan ke kota tersebut.

Nama Putrajaya layak dimunculkan sebagai contoh sukses pemindahan pusat pemerintahan, setelah opsi lain yaitu pemindahan ibukota Jakarta ke tempat lain dianggap lebih berisiko dan mahal secara ekonomi. Ide pemindahan pusat pemerintahan, tanpa memindahkan Jakarta sebagai ibukota, dianggap sebagai salah-satu jalan yang paling realistis dan murah.

Berkaca dari Malaysia, wacana memindahkan pusat pemerintahan yang tidak jauh dari Jakarta, merupakan yang paling rasional. Dengan alasan pertimbangan kesiapan infrastruktur serta kemampuan daerah itu menjadi kota mandiri, kawasan di sekitar Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawaci, dan Jonggol di Kabupaten Bogor bisa sebagai alternatif. 


Tentu saja ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk membangun kota baru sebagai pusat pemerintahan. Selain kesiapan infrastruktur, masalah sosial yang mengiringi perpindahan para pegawai negeri ke pusat pemerintahan yang baru, harus pula disiapkan sarana dan prasarananya.

Mulai dari apartemen hingga perumahan perlu dibangun di lokasi baru untuk menampung para pegawai negeri.

Pertanyaannya, mampukah Indonesia membangun pusat pemerintahan yang baru, sebagai pengganti Jakarta, setidaknya seperti yang sudah dipraktekkan di Malaysia? Realitasnya selama ini Indonesia tampaknya baru sampai pada tahap menimbang-nimbang saja: pindah atau tidak, dan itu hanya ramai takkala Jakarta dihantam banjir dahsyat seperti terjadi sekarang. (tribunnews.com)
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

Baca Dulu Baru Koment

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Harian Kal-Bar
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top